Asahan, NusaNEWSTV.com – Saya Lydia Wahyu Ningrum merupakan mantan karyawan kontrak (PKWT) di RSU Ibu Kartini yang di kelola PT. Kartini Sentra Medika yang telah bekerja sejak tanggal 12 April 2018 sampai dengan 11 Juli 2025 dengan status Pekerja Kontrak (PKWT) yang dikontrak pertahun. Saya berkerja sebagai karyawan kontrak di RSU Ibu Kartini Kisaran kurang lebih selama 7 tahun mengabdi di PHK sepihak. Katanya lewat sambungan selulernya, Senin (11/11/2024) di Kisaran.
Dia mengungkapkan, saya menerima dua surat yang berbeda dikeluarkan oleh perusahaan yang sama yaitu Perusahaan PT. Kartini Sentra Medika. Pertama, pada tanggal 11 Juli 2024, saya telah menerima perpanjangan kontrak dan sudah menandatangani perpanjangan kontrak tersebut untuk periode 11 Juli 2024 sampai dengan 11 Juli 2025. Mekanismenya perpanjangan sesuai dengan Undang-Undang terkait perpanjangan kontrak kerja.
Kedua, pada tanggal 29 Juli 2024 saya menerima surat perihal Surat Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 26 Juli 2024 yang ditandatangani oleh M fandy Aditya Tarigan selaku Kabag SDM dan Umum RSU Ibu Kartini dimana dr. Haviza, MKM selaku Direktur RSU Ibu Kartini pada saat itu masih aktif menjabat tidak mengetahui adanya Surat Pemutusan Hubungan Kerja ini, jelas Lydia.
Lydia menyebut, isi surat tersebut menyatakan bahwa kontrak saya tidak dapat dilanjutkan dan tanpa alasan apapun. Lebih lanjut surat itu menyebutkan per tanggal 1 Agustus 2024 hubungan kerja RSU Ibu Kartini dengan saya dinyatakan telah berakhir. Seharusnya pemberitahuan pemberhentian kontrak kerja diberitahukan setidak-tidaknya 14 hari sebelum PHK itu dilakukan (berdasarkan Pasal 37 Ayat 3 PP Nomor 35 Tahun 2021.
Sementara kata Lydia, yang dilakukan oleh PT Kartini Sentra Medika adalah 15 hari setelah lewat waktu habis kontrak dan setelah ada perpanjangan kontrak kerja. Sehingga mekanisme yang dilakukan PT. Kartini Sentra Medika telah cacat formil/prosedural dan dilakukan tidak secara sah dan patut.
Setelah surat PHK sepihak itu disampaikan kepada saya, dr. Haviza, MKM selaku Direktur RSU Ibu Kartini mengeluarkan surat memo dinas tertanggal 30 Juli 2024 kepada M. fandy Aditya Tarigan selaku Kabag SDM dan Umum yang subtansinya berbunyi bahwa terdapat penyalahgunaan wewenang dan tidak sesuai SOP dalam mengeluarkan PHK oleh Kabag SDM dan Umum kepada saya, terangnya.
Bahkan, Kabag SDM dan Umum tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada dr. Haviza, MKM selaku Direktur RSU Ibu Kartini sekaligus pimpinan RSU Ibu Kartini. Pada tanggal 2 Agustus 2024 hari terakhir saya bekerja di RSU Ibu Kartini, saya mendapatkan surat keterangan bekerja dan surat pengalaman bekerja dari RSU Ibu Kartini yang menyatakan “Selama menjadi staf di RSU Ibu Kartini sdri Lydia Wahyu Ningrum telah menunjukkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan dan tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan,”ungkap Lydia.
Lantas, kenapa saya di PHK sepihak tak berdasar dan tak beralasan. Karena PHK sepihak ini, saya meminta kepada M. Fandy Aditya Tarigan selaku atasan langsung saya dan Kabag SDM dan Umum RSU Ibu Kartini terkait penyelesaian hak-hak saya sebagai karyawan kontrak yang di PHK sepihak namun tidak ada jawaban yang pasti dari Fandy dan pihak PT. Kartini Sentra Medika.
Oleh karenanya, saya mengajukan perundingan Bipartit pada hari Senin, 12 Agustus 2024 sekira pukul 10.00 Wib di RSU Ibu Kartini. Perundingan Bipartit telah dilaksanakan dengan tidak ada kesepakatan (gagal). Turut hadir dalam perundingan tersebut, saya Lydia Wahyu Ningrum selaku korban PHK sepihak, M. Fandy Aditya Tarigan, dr. Hilmiatul Husna dan Taufik Hidayat sebagai pihak yang mewakili perusahaan.
Dalam perundingan Bipartit yang turut dihadiri oleh saya dan perwakilan dari perusahaan telah tidak jujur serta tidak berdasar hukum dengan menyampaikan bahwa saya merupakan karyawan tetap. Sehingga perusahaan melakukan perhitungan hak-hak saya berdasarkan hak-hak karyawan tetap. Saya menolak atas perhitungan dan penetapan sepihak oleh perusahaan tersebut yang tak beralasan dan berdasar hukum, ketusnya.
Menurutnya, perusahaan mau mempermainkan dan mengurang-ngurangi hak-hak karyawan. Sewaktu bekerja status saya sebagai karyawan RSU Ibu Kartini adalah karyawan Kontrak dan sewaktu saya di PHK status saya dinyatakan adalah karyawan tetap. Menindaklanjuti gagalnya proses mediasi pada perundingan Bipartit, maka saya menyampaikan surat pengajuan perundingan Tripartit kepada Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan tertanggal 12 Agustus 2024, beber Lydia.
Kemudian, Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan telah memanggil saya dan pihak perusahaan melakukan mediasi pada tingkat Tripartit. Adapun panggilan I pada tanggal 22 Agustus 2024, panggilan II pada tanggal 29 Agustus 2024 dan panggilan III pada tanggal 05 September 2024. Pada tahapan mediasi Tripartit juga tidak ada kesepakatan alias gagal, ujarnya.
Termasuk terdapat proses yang tidak berpihak kepada saya selaku korban PHK sepihak. Saya menolak pendapat sepihak perusahaan yang menghitung hak-hak saya dengan kalkulasi karyawan tetap. Padahal, dalam kontrak kerja antara saya dengan perusahaan telah jelas statusnya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), ungkap Lydia.
Bahkan disebutkan dalam Pasal 1 pada setiap perjanjian kerja saya yang menyatakan ”Pihak Pertama (Perusahaan) menerima Pihak Kedua (Saya/Pekerja) sebagai Tenaga Kerja Waktu Tertentu (PKWT)”. Untuk itu, kalkulasi hak-hak saya oleh perusahaan dalam mediasi Tripartit adalah tindakan manipulatif dan klaim sepihak yang merugikan hak-hak saya selaku korban PHK sepihak.
Bahwa tertanggal 6 September 2024 mediator Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan telah mengeluarkan anjuran tertulis. Terkait anjuran tertulis mediator ini telah saya sampaikan penolakan karena beberapa substansinya tidak sesuai dengan yang disampaikan dan atau tidak dicantumkan pada saat sidang mediasi Tripartit di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan.
Terkait perselisihan ini telah menempuh proses Bipartit dan Tripartit, namun tidak mencapai kesepakatan atau gagal. Maka sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maupun UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan/atau UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja serta aturan turunannya.
“Saya mencari keadilan melalui jalur pengadilan sesuai dengan tahapan perselisihan dan ketentuan yang berlaku. Atas persoalan PHK sepihak ini, tentunya merugikan saya sebagai karyawan kontrak yang di PHK tanpa kesalahan (zero mistake). Kerugian ini dalam bentuk materil dan immateril serta menuntut hak-hak normatif sebagai karyawan kontrak yang seharusnya diterima akibat PHK,” ungkapnya.
Adapun hak-hak yang semestinya saya terima adalah ganti rugi yakni kalkulasi atas sisa masa kontrak dan kompensasi serta upah proses dengan kalkulasi berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja serta PP Nomor 35 Tahun 2021 aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Semoga tidak ada lagi korban PHK lainnya setelah saya, ucapnya.
Berita sebelumnya, Kepala Bagian Kepegawaian RSU Ibu Kartini Kisaran, Muhammad Fandy Aditya Tarigan yang dicoba dikonfirmasi diruang kerjanya, Senin (11/11/2024) mengaku PHK terhadap karyawan kontrak tersebut. Ada 7 orang yang di PHK perusahaan gegara chatingan di grup WhatsApp, katanya.
Saat disinggung penyebab terjadinya PHK sepihak terhadap Lydia ini, Kabag Kepegawaian inipun tak bisa menjawabnya dengan alasan adanya persoalan chetingan di group WhatsApp para perawat RSU Kartini yang merasa dibuly dengan kata-kata tidak senonoh. Salah satu perawat ini merasa dibuly sehingga persoalan itu sampai ke atasan, kilahnya.
Padahal, Lidya ini tidak terlibat dalam persoalan chatingan di grup WhatsApp perawat itu. Anehnya lagi, ketika ditanya atas dasar apa pemberhentian sepihak terhadap Lydia Wahyu Ningrum ini, lagi-lagi Fandy Tarigan selaku atasan Lydia inipun tak bisa menjawabnya dan terkesan berdalih.
Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan, Zein Panjaitan mengatakan ternyata atas nama saudari Lydia telah selesai di sidangkan secara tripartit di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Asahan. Akan tetapi tidak ada perjanjian dan atau kesepakatan bersama (damai), maka mediator hubungan industrial mengeluarkan anjuran yang nantinya dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial-Medan, katanya. (ZN)